Surat Untuk November
Hai November, aku tak bisa melepasmu begitu saja. Aku menulis surat ini sebelum kamu pergi. Kadang aku ingin menulisnya tepat ketika aku berjumpa denganmu. Menceritakan masa lalu, sehari sebelum kamu datang. Sehari kemarin yang sudah menjadi masa lalu di masa sekarang.
Aku bertemu senja di akhir November ini. Senja yang tak biasa. Senja yang tak pernah datang pada bulan-bulan musim hujan. Iya karena sebelum hadir senja, awan sudah duluan menghalangi hadirnya.
Aku menyebutnya ada setitik kemarau di musim hujan. Di awal-awal aku sudah bersiap dengan sepatu lengket, badan basah, dan langkah yang tertatih selama musim hujan. Kenyataannya enggak. Di setitik kemarau ini tanah kembali kering, mengeras, dan muncul retakan kembali. Retakan seperti luka yang menganga di ujung hati saat engkau pergi.
Sebentar lagi engkau akan jadi masa lalu, mungkin empat hari ke depan sudah berlalu dan semua menjadi cerita. Tapi bagaimana pun aku selalu bersyukur atas kehadiranmu dalam hari-hariku. Selalu ada banyak hal menyenangkan untuk mengenangmu. Terima kasih pernah singgah dalam kehidupanku. Ada lukisan indah dirimu yang tetap tinggal di sini.